Rabu, 15 April 2009

Tentang Kurikulum Anti Korupsi

Oleh : Faisal Djabbar
Fungsional Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.

Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi, seperti pendidikan antikorupsi kepada masyarakat.

Menyadari hal ini, tersembul gagasan memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tingkat SD hingga SMU, sebagai bentuk nyata pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi.

Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia.

Jajak pendapat itu menjaring pula pendapat masyarakat seputar pentingnya pendidikan antikorupsi. Masyarakat berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan seputar korupsi dan bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi terhadap hukum, serta memutus mata rantai korupsi.

Lebih dari itu, masyarakat berkeinginan agar upaya pendidikan antikorupsi berjalan paralel dengan upaya lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi pengawasan yang ketat, sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara berkala dan berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam birokrasi.

Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran

Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.

Pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMU sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.

Menyikapi kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti dicermati. Materi pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Matematika, Bimbingan Karir, Bahasa. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.

Pendidikan Nilai

Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.

Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab.

Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.

Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan.

Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.

Warung Kejujuran

Materi antikorupsi memang bisa kita selipkan sebagai pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Tetapi, pertanyaan lain muncul: apakah pendidikan antikorupsi hanya sekadar pemberian wawasan di ranah kognitif? Pendidikan antikorupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman. Tidak sekadar menghapal. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan antikorupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik. Membentuk sikap dan perilaku antikorupsi pada siswa. Menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai antikorupsi.

Mencermati hal tersebut, KPK gencar mempromosikan dibentuknya warung kejujuran di setiap sekolah. Warung kejujuran adalah warung yang menjual makanan kecil dan minuman. Warung kejujuran tidak memiliki penjual. Warung yang tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam warung. Dalam warung tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut.

Melalui warung kejujuran siswa belajar berperilaku jujur. Siswa belajar bersikap taat dan patuh, ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur pada diri sendiri. Intinya, inilah sebuah pendidikan antikorupsi yang langsung menyentuh domain afektif dan psikomotorik.

Kemudian, dalam konteks pendidikan antikorupsi, tatacara pengajaran tradisional mestinya dihilangkan. Siswa bukan obyek. Siswa bukan kertas putih yang bisa ditulis apa saja. Siswa bukan botol kosong, di mana siswa diisi dengan segala macam informasi dan nasihat, dan setelah itu dituntut mengeluarkannya kembali.

Bukan pendekatan seperti itu yang dibutuhkan. Pendekatannya berwujud penghargaan atas pendapat siswa guna merangsang kemampuan intelektual anak: keingintahuan, sikap kritis, berani berpendapat. Karena itu, pola pendidikan antikorupsi seyogianya bersifat terbuka, dialogis, dan diskursif.


REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama

Sumber : Pers Depdiknas

Jakarta, Selasa (8 Juli 2008) — Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama. REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan.

Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri. Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan.

Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawabkan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.

Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta.

Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat. “Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran,” katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).

Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit.PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan. “Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid,” katanya.

Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp.45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan. “Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah,” katanya.

Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech. “REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli,” katanya.

Ketua Tim REDIP-JICA Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.


Strategi Pembelajaran Quantum Teachimg Dan Quantum Learning

Oleh: Jelarwin Dabutar
Sumber : pendidikan.net

Seperti kita ketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang di hari keamarin masih dianggap modern (sunrise teohnology ) bukan tak mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology).

Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalarn pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dll. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.

Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.

SMK yang sudah mapan pada umumnya menggunakan teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Pada beberapa tahun lalu yang masih menggunakan Overhead Projector (OHP) dan menggunakan media Overhead Transparancy (OHT), pada saat ini menjadi tidak mode dan mulai ditinggalkan. Beberapa kelebihan multimedia seperti tidak perlu pencetakan hard copy dan dapat dibuat/diedit pada saat mengajar menjadi hal yang memudahkan guru dalam penyampaian materinya. Berbagai variasi tampilan/visual bahkan audio mulai dicoba seperti animasi bergerak, potongan video, rekaman audio, paduan warna dll dibuat untuk mendapatkan sarana bantu mengajar yang sebaik-baiknya. Bahkan pada beberapa kesempatan telah diadakan ToT Multimedia dan juga In House Training

Pembelajaran yang Efektif

Sejauh ini multimedia mampu mengubah pembelajaran secara drastis dan fundamental. Namun pertanyaannya adalah, kapan multimedia efektif digunakan dalam proses pembelajaran peserta diktat ? dan mengapa efektif ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita harus merniliki pemahaman yang menyeluruh tentang multimedia. Ketika membahas multimedia, biasanya yang kita maksudkan adalah gabungan alat-alat teknik seperti komputer, memori elektronik, jaringan informasi, dan alat-alat display yang dapat menyajikan informasi melalui berbagai format seperti teks, gambar nyata atau grafik dan melalui multi saluran sensorik. Hal ini analog dengan pernikiran jika kita menganggap komputer sebagai mesin tik misalnya. Padahal komputer jelas-jelas merniliki berbagai fungsi dan manfaat yang lebih banyak dibanding mesin tik manual.

Beberapa kesalahan konsep mengenai multimedia dapat diringkas sebagai berikut :

1.Sebagian besar pengguna teknologi multi media masih menganggap multi media hanya sebagai alat penampil suatu materi yang akan disampaikan

2.Multimedia dipandang sebagai wahana yang selalu memberikan dampak positif pada pembelajaran.

3.Karena multimedia memanfaatkan banyak ragam media (audio, visual, animasi gerak, dll) maka serta merta akan menghasilkan proses kognitif yang banyak pula. Dengan bahasa sederhana dikatakan bahwa dengan memberikan banyak hal (teks, gambar, animasi, dll.) maka peserta didik akan mendapatkan lebih banyak.

Kembali pada topik terkemuka, sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan di atas hendaknya kita memaharni level-level pada multimedia. Secara keseluruhan, multimedia terdiri dari tiga level (Mayer, 2001) yaitu :

  1. Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis ; alat-alat ini dapat diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (signs).
  2. Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dll.
  3. Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk menerima tanda (signs).

Dengan memanfaatkan ketiga level di atas diharapkan kita dapat mengoptimalkan multimedia dan mendapatkan efektifitas pemanfaatan multimedia pada proses pembelajaran.

Pendidikan Menengah Berbasis TIK Diluncurkan

Sumber : dikmentidki.g

Semakin majunya era teknologi informasi dan komunikasi membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berpikir keras agar pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak ketinggalan. Karenanya, Pemprov DKI mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Jakarta di dalam pendidikan SMA dan SMK Negeri. Pencanangan komunitas ini diluncurkan langsung Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta melalui pesan singkat kepada seluruh kepala sekolah yang hadir di Balai Agung, Selasa (14/10).

Kemudian Fauzi Bowo diberikan sebuah spidol oleh ROCI buatan seorang pelajar SMA Negeri di Jakarta. Spidol itu dipakai gubernur untuk menandatangi plakat yang disediakan Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta. Setelah peluncuran ini, artinya pelajar SMA dan SMK DKI tidak ketinggalan dengan negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Korea Selatan telah ada Cyber Korea 2001, Jepang dengan e-Japan Priority Program, Malaysia dengan Smart School dan negara-negara Eropa yang membangun e-Europe.

Meski baru diluncurkan sekarang, sebenarnya kegiatan pendidikan berbasis TIK telah diawali dengan berbagai kegiatan sejak 2003 antara lain pelaksanaan sistem software administrasi sekolah (SAS) offline dan online pada 2004 dan 2006, dan pemberian fasilitas kepemilikan laptop bagi guru pada 2006. Selain itu penambahan perangkat dan jaringan terus dilakukan. Hingga saat ini seluruh SMA/SMK negeri dan lebih dari 70 persen sekolah swasta sudah tersambung dengan jaringan internet.

Komputer yang terhubung ke internet lebih dari 10 ribu unit, dan 100 sekolah terpasang hotspot, 200 ruang guru dilengkapi LCD. Sedangkan guru yang telah memiliki laptop ada sekitar 7 ribu guru. AKhir tahun ini diharapkan seluruh SMA/SMK swasta sudah terhubung ke jaringan internet. Saat ini, terdapat 116 SMA negeri, 62 SMK negeri, 346 SMA swasta, dan 606 SMK swasta. Seluruh SMA dan SMK Negeri, komputernya telah terkoneksi dengan jaringan internet. Sedangkan untuk SMA dan SMK swasta baru, 60 persen terkoneksi dengan jaringan internet. Saat ini hanya ada 200 ruang kelas yang memakai LCD Projector dari puluhan ribu kelas di SMA dan SMK negeri dan swasta di Jakarta.

“Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi” - Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta

Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta menekankan, pemanfaatan TIK untuk SMA dan SMK baik negeri maupun swasta, harus diarahkan untuk peningkatan dan perluasan kesempatan belajar, peningkatan mutu pendidikan dan daya saing, serta peningkatan akuntabilitas dan citra publik. “Suatu dosa besar, jika Pemprov DKI dan berbagai instansi pemerintah lainnya tidak bisa menyiapkan murid-murid dalam pendidikan berbasis teknologi,” katanya dalam acara Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Prov DKI Jakarta di Balai Agung, Selasa (14/10).

Karena, murid-murid SMA dan SMK harus siap menjadi basis pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan di masa mendatang. Sebab dengan TIK, secara langsung telah memengaruhi cara belajar siswa untuk mengolah berbagai informasi dari berbagai tempat. “Program ini bertujuan meningkatkan sektor informasi TIK terutama di bidang pendidikan yang akan menjadi kunci sukses negara di masa depan,” ujar dia. Hingga tahun ini, di DKI Jakarta telah ada 10 ribu komputer sekolah telah terhubung internet. Sejumlah sekolah telah dilengkapi dengan wi-fi dan hotspot.

Kendati demikian, terang mantan Wakil Gubernur era Sutiyoso ini, 30 persen SMA masih memiliki sistem komputer yang out of date dan perlu di-upgrade. 30 persen SMA dan SMK telah memiliki laboratorium komputer, tetapi 15 persen diantaranya laboratorium komputernya sangat minim sarananya.

Sementara itu, Margani Mustar, Kepala Dikmenti DKI menyatakan, pencanangan komunitas berbasis TIK ini merupakan upaya untuk membangun kultur yang memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud kolaborasi antara dinas pendidikan menengah dan tinggi, sudin dikmenti, sekolah, telkom, microsoft, oracle education foundation, one`s beyond dan yayasan yang berkecimpung dibidang pendidikan lainnya. “Target ke depan, setiap kelas ada LCD Projector dan komputer. Kemudian ada ruangan khusus untuk multimedia dan local area networking untuk memungkinkan pembelajaran online siswa se-Jakarta,” harap Margani.

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bukan untuk menghilangkan sisi humanisme para siswa, melainkan hanya untuk pembangunan kultur pemanfaatan TIK. Untuk mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan, maka masyarakat harus selalu dapat mengakses informasi. Dengan tersedianya infrastruktur TIK, sekolah harus membentuk jejaring antar institusi pendidikan agar dapat saling menukar pengetahuan dan sumber daya.(beritajakarta)


Depdiknas Terbitkan Peta Bahasa di Tanah Air

Sumber : dikmentidki.go.id

Pusat Bahasa Depdiknas akan menerbitkan peta bahasa yang terdiri atas kumpulan bahasa daerah di Tanah Air dari Sabang, Pulau We sampai Merauke, Papua.

"Penyusunan peta bahasa ini sudah berlangsung selama 15 tahun karena proses pengumpulan data bahasa ibu dari satu daerah ke daerah lain mengalami kendala geografis," kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dr Dendy Sugondo di Jakarta, Rabu sehubungan penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, pada 28 Oktober- 1 November 2008.

Penelitian tentang bahasa daerah atau bahasa ibu bertujuan untuk memetakan bahasa sebagai budaya dan sarana mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ia mengatakan, bangsa Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah dan 17.508 pulau. "Melalui bahasa kita bisa membuat peta budaya dan wilayah NKRI. Ini suatu senjata paling kuat, yaitu peta budaya, bukan hanya peta wilayah," katanya.

Pemetaan bahasa telah mencapai kawasan timur yakni di Provinsi Papua dan Maluku. Dendy mengharapkan, pada 28 Oktober nanti meski Peta Bahasa tersebut belum sepenuhnya sempurna -karena bahasa ibu di Papua belum masuk- tetap akan dipamerkan pada acara Kongres Bahasa nanti.

Untuk melakukan pemetaan bahasa tersebut, Depdiknas menerjunkan tim pemetaan bahasa yang disebar di seluruh Indonesia. Mereka ditempatkan di balai bahasa setiap provinsi di Indonesia.

Dendy mengatakan, selama penelitian diperoleh data terdapat enam bahasa daerah yang sudah punah. Bahasa-bahasa tersebut berada di daerah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan wilayah Maluku.

"Kebanyakan, bahasa daerah, terutama yang kecil-kecil komunitasnya, turun temurun secara lisan. Akibatnya, setelah penutur aslinya tidak ada, bahasa tersebut hilang," tambahnya. Sementara tidak semua daerah memiliki dokumentasi secara tertulis, katanya.

Selain itu, lanjut Dendy, terdapat juga beberapa bahasa daerah yang terancam punah. Bahasa-bahasa tersebut terutama yang memiliki penutur di bawah 100 orang. (media indonesia)


Senin, 06 April 2009

Anak Belajar, Orang tua Belajar , Akhirnya Masyarakat juga Belajar

Octavia Wury

Sekarang ini Sekolah identik dengan sebuah gedung mewah yang tertutup oleh tembok - tembok beton yang tinggi dan MAHAL.. Sebuah momok yang menakutkan bagi para orang tua yang kurang mampu yang ingin menyekolahkan anaknya di tempat yang memiliki kualitas yang nomer satu... Melihat anak - anak pemulung dan pengemis dipinggiran jalan kota jakarta membuat saya berpikir,Pendidikan berkualitas saat ini begitu menakutkan untuk mereka yang hanya mengandalkan gelas - gelas plastik... Karena alasan itulah kuputuskan untuk lepas dari semua rutinitasku sebagai seorang guru disebuah sekolah yang cukup ternama dan mengabdikan seluruh ilmu yang kumiliki untuk sebuah Pondok di wilayah Gandul,Cinere yang menampung anak - anak kaum marjinal. Pemiliknya adalah seorang Ibu,yang telah mengabdikan dirinya untuk anak -anak selama 23 tahun,dia bukan dari keluarga kaya, dia hanya memiliki semangat yang akhirnya ia wujudkan lewat sekolah ini. Ditempat ini kami mendidik anak tidak hanya kemampuan akademis tapi juga karakternya..Kami membiasakan mereka untuk selalu mengatakan "Aku BISA,Aku PINTAR" karena buat kami kecerdasan dalam akademis bisa dicapai dengan maksimal saat anak betul-betul menikmati PROSES dalam belajar mereka. Dan terbukti walaupun sekolah kami hanya sebuah pondok kecil, semangat belajar yang mereka miliki SANGAT BESAR.....

Guruku Bersabarlah

Amiruddin Rozali Kepala SMP Negeri 2 Sungailiat

Ketika lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa didendangkan oleh para siswa pada saat ada perayaan di sekolah misalnya pada acara perpisahan atau penglepasan siswa kelas terakhir, merinding rasanya bulu kuduk dan bahkan menitikkan air mata terlebih bila sampai kebait "engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa".


Tetapi entah apa sebabnya sehingga sekarang lagu tersebut seolah hilang ditelan oleh permasalahan yang begitu banyak dihadapi para guru. Guru, menurut Kamus Besar Bahasa Indenesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka; adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Dengan demikian secara harpiah pekerjaan guru adalah mengajar (teacher), yakni menjadikan seseorang dari tidak mengetahui sesuatu menjadi tahu.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS tidak ditemukan istilah Pengajar melainkan Pendidik, ini menunjukkan bahwa tugas utama guru adalah mendidik dalam arti yang luas, apapun istilahnya tidak menjadi persoalan, namun yang namanya guru atau pendidik semestinya menguasai apa yang diajarkannya sehingga para muridnya yakin bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu dari gurunya yang dapat digunakan untuk bekal hidup di kemudian hari.

Inilah sebetulnya "Jasa" yang diperoleh oleh murid dari seorang guru. Tetapi kenyataannya sedikit sekali masyarakat yang mengerti bahwa apa yang telah diberikan oleh guru kepada para muridnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dinilai oleh apapun. Guru sebenarnya tidak pernah pamrih dalam hidupnya, tetapi keadaanlah yang membuat sebagian kecil guru tidak sepenuh hati melaksanakan kewajibannya, mulai dari daya dukung orangtua dan masyarakat yang minim, birokrasi yang berbelit dan panjang, belum lagi kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, guru seperti manusia kebanyakan yang mempunyai keterbatasan dalam segala hal, mereka juga harus survive, perlu makan, punya tempat tinggal yang layak, bahkan punya kenderaan, serta dapat menyekolahkan anaknya kesekolah yang bagus. Hal ini sangat manusiawi, karena jangan sampai guru yang notabene mendidik "anak orang lain", justru anak dia sendiri terabaikan baik pendidikan maupun financial yang lain. Guru hanya dipaksakan untuk puas melihat anak didiknya berhasil. Maka dengan kondisi yang demikian tidak sedikit dijumpai guru yang "Nyambi" sekedar untuk menambah penghasilan, tetapi hal itu sah-sah saja yang penting halal dan tidak mengabaikan tugas pokok dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.

Apabila ada segelintir orang yang mengatakan "Salah sendiri, mengapa mau jadi guru" itu pernyataan yang diskriminatif, bukan solusi. Kita mesti jujur, mungkinkah ada guru bila tidak ada guru ? Tidak ada yang dipersalahkan dalam hal ini, institusi yang memproduksi guru jelas tidak mau disalahkan, mereka telah berusaha memproses calon guru yang berkualitas, meskipun inputnya tidak sama dengan input calon dokter. Perbedaannya seperti bumi dengan langit, padahal tugas dokter dan guru sama-sama penting, apabila dokter salah memberi obat yang "mati" hanya yang diberi obat, tetapi bila guru salah memberikan konsep, yang "mati" tidak hanya satu atau dua orang, melainkan mereka juga dapat membunuh orang lain.

Ke depan mestinya pola seleksi yang dilakukan oleh Perguruan tinggi untuk calon guru perlu benar-benar diperhatikan, apabila pendidikan di negeri ini mau berubah kearah yang lebih baik atau paling tidak sejajar dengan Negara-negara tetangga. Guru "tempo doeloe" sangat jauh berbeda dengan guru pada masa sekarang, perbedaan terjadi dari segala sudut pandang. Guru "tempo doeloe" sangat lekat dengan panggilan "Pak/ibu guru" dari masyarakat dan para muridnya, barangkali karena panggilan inilah sehingga mereka berbeda dengan yang lain dan malu untuk melakukan sesuatu diluar kebiasaan guru.

Mereka sangat tekun mendidik anak muridnya, mereka sangat disegani bahkan ditakuti, mereka seolah tidak memikirkan nasibnya sendiri, mereka sanggup memberikan pelajaran tambahan bagi muridnya yang "kurang" tanpa mau memungut bayaran, tidak terdengar dari mereka yang memacari anak muridnya apa lagi sampai memperkosanya. Bahkan yang lebih aneh guru "tempo doeloe" konon kabarnya lebih galak, apabila memberikan hukuman tidak pernah pandang bulu, tetapi lebih aneh lagi para muridnya semakin segan dan takut untuk melakukan pelanggaran.

Pada saat ini bukan tidak ada guru seperti guru "tempo doeloe", tetapi mungkin prosentasenya kecil hal ini disebabkan oleh banyak factor, baik yang berasal dari guru itu sendiri (internal) maupun yang berasal dari luar (eksternal). Disamping itu juga guru sekarang terlalu banyak dihadapkan dengan permasalahan dan tantangan seiring dengan kemajuan zaman.

Berikut beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para guru sekarang antara lain:

(1). Penghargaan pemerintah terhadap profesi guru relative rendah. Hal ini dapat dilihat dari misalnya perhatian pemerintah terhadap guru yang berprestasi sangat jauh perbedaannya dibanding dengan perhargaan terhadap yang berprestasi selain guru. Belum lagi kepada guru yang diberikan tugas tambahan sebagai kepada Kepala Sekolah yang tugasnya sangat berat, karenanya tidak dapat disalahkan apabila ada segelincir kepala sekolah yang memanfaatkan masa jabatannya untuk kepentingan peribadi.

Seyogyanya guru yang ditugaskan sebagai Kepala Sekolah tersebut tidak perlu lagi memikirkan nasibnya sendiri sehingga dia dapat mengelola sekolah secara maksimal, dan seharusnyalah ada perbedaan penghargaan dari pemerintah terhadap kepala sekolah yang berprestasi terhadap pengelolaan sekolahnya serta yang lebih penting lagi tidak ada dikotomi antara sekolah negeri maupun sekolah swasta. Untuk itu pemerintah selayaknya membuat batasan terhadap apa yang dilakukan kepala sekolah sehingga dia layak disebut kepala sekolah berprestasi.

(2). Negara membutuhkan banyak guru sesuai dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Dari data Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas kebutuhan guru sampai dengan 2008 adalah 1.800 guru TK, 163.397 untuk guru SD, 80.824 untuk guru SMP, 32.414 untuk guru SMA, dan 14.226 untuk guru SMK jadi total guru yang diperlukan 292.661 orang. Karena itu harapan untuk anggarkan pendidikan sebesar 20 % amat sulit untuk dicapai terutama daerah-daerah yang PAD nya relative kecil. Hal ini sangat wajar sebab bila 20 % dari anggaran sudah diserap oleh pendidikan, lantas instansi lain diluar pendidikan akan mengalami kemunduran.

(3). Distribusi guru tidak merata. Kenyataan membuktikan bahwa di kota atau tempat-tempat yang mudah dijangkau akan banyak gurunya bahkan di suatu sekolah guru berlebihan, tetapi di tempat lain yang tidak strategis kekurangan guru dan ini sangat manusiawi, karena sudah sifat manusia cenderung mencari tempat yang enak dalam hidupnya. Barangkali kita mesti merujuk pernyataan yang dibuat oleh para calon guru ketika pertama kali diangkat jadi guru (Negeri) bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia" namun kenyataannya setelah menjadi Pegawai Negeri Sipil pernyataan tersebut seolah tidak pernah ada. Untuk masalah ini pemerintah tidak semerta-merta dapat disalahkan, mereka juga banyak melakukan pertimbangan terutama menyangkut nilai kemanusiaan. Namun dengan adanya Otonomi Daerah, pemerintah daerah sebenarnya dapat membuat kebijakan yang tegas sehingga dapat menekan penyebaran guru yang tidak merata tersebut.

(4 ). Masyarakat kurang menghargai profesi guru. Sangat sedikit orangtua yang mau mengarahkan anak mereka menjadi guru, seolah bila menjadi guru penghidupan mereka akan memprihatinkan. Kebanyakan orangtua yang "beruang" akan bangga bila anak mereka manjadi teknokrat, ekonom, atau dokter, tetapi bila anaknya jadi guru mereka mungkin akan terasa terhina. Namun yang sangat disayangkan perilaku demikian dapat menambah populasi "Teacher Mismatch" di negara ini karena bila keadaan terdesak yang semula tidak mau menjadi guru akhirnya menjadi guru.

(5 ). Rendahnya kompetensi guru. Kompetensi yang dimaksud sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 yaitu Kompetensi Pedagogik (KPe), Kompetensi Kepribadian (KK), Kompetensi Social (KS), dan Kompetensi Propesional (KPr). Asfek Kompetensi Pedagogik meliputi kemampuan mengelola pembelajaran. Guru mampu membuat program, tetapi belum semua guru mampu membimbing siswa untuk mengaktualisasi kan potensi yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Kebanyakan guru berpikir apabila sudah mengajar maka selesailah tugasnya, padahal tidak demikian, masih ada tugas lain yang sangat penting yakni mendidik dan membimbing siswa.

Didik Anak Sesuai Potensi

Ester Lince Napitupulu
KOMPAS.com - Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran.

Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas.

Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.

SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya.

Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.

”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.

Tetap konsisten

Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.

Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus.

Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.

Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa.

Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.

Lima bidang pelajaran

Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler.

Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.

Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar.

Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.

Anak berbakat

Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya.

Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.

Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas.

Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.

Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.