Senin, 06 April 2009

Guruku Bersabarlah

Amiruddin Rozali Kepala SMP Negeri 2 Sungailiat

Ketika lagu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa didendangkan oleh para siswa pada saat ada perayaan di sekolah misalnya pada acara perpisahan atau penglepasan siswa kelas terakhir, merinding rasanya bulu kuduk dan bahkan menitikkan air mata terlebih bila sampai kebait "engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa".


Tetapi entah apa sebabnya sehingga sekarang lagu tersebut seolah hilang ditelan oleh permasalahan yang begitu banyak dihadapi para guru. Guru, menurut Kamus Besar Bahasa Indenesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka; adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Dengan demikian secara harpiah pekerjaan guru adalah mengajar (teacher), yakni menjadikan seseorang dari tidak mengetahui sesuatu menjadi tahu.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS tidak ditemukan istilah Pengajar melainkan Pendidik, ini menunjukkan bahwa tugas utama guru adalah mendidik dalam arti yang luas, apapun istilahnya tidak menjadi persoalan, namun yang namanya guru atau pendidik semestinya menguasai apa yang diajarkannya sehingga para muridnya yakin bahwa mereka akan mendapatkan sesuatu dari gurunya yang dapat digunakan untuk bekal hidup di kemudian hari.

Inilah sebetulnya "Jasa" yang diperoleh oleh murid dari seorang guru. Tetapi kenyataannya sedikit sekali masyarakat yang mengerti bahwa apa yang telah diberikan oleh guru kepada para muridnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dinilai oleh apapun. Guru sebenarnya tidak pernah pamrih dalam hidupnya, tetapi keadaanlah yang membuat sebagian kecil guru tidak sepenuh hati melaksanakan kewajibannya, mulai dari daya dukung orangtua dan masyarakat yang minim, birokrasi yang berbelit dan panjang, belum lagi kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, guru seperti manusia kebanyakan yang mempunyai keterbatasan dalam segala hal, mereka juga harus survive, perlu makan, punya tempat tinggal yang layak, bahkan punya kenderaan, serta dapat menyekolahkan anaknya kesekolah yang bagus. Hal ini sangat manusiawi, karena jangan sampai guru yang notabene mendidik "anak orang lain", justru anak dia sendiri terabaikan baik pendidikan maupun financial yang lain. Guru hanya dipaksakan untuk puas melihat anak didiknya berhasil. Maka dengan kondisi yang demikian tidak sedikit dijumpai guru yang "Nyambi" sekedar untuk menambah penghasilan, tetapi hal itu sah-sah saja yang penting halal dan tidak mengabaikan tugas pokok dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.

Apabila ada segelintir orang yang mengatakan "Salah sendiri, mengapa mau jadi guru" itu pernyataan yang diskriminatif, bukan solusi. Kita mesti jujur, mungkinkah ada guru bila tidak ada guru ? Tidak ada yang dipersalahkan dalam hal ini, institusi yang memproduksi guru jelas tidak mau disalahkan, mereka telah berusaha memproses calon guru yang berkualitas, meskipun inputnya tidak sama dengan input calon dokter. Perbedaannya seperti bumi dengan langit, padahal tugas dokter dan guru sama-sama penting, apabila dokter salah memberi obat yang "mati" hanya yang diberi obat, tetapi bila guru salah memberikan konsep, yang "mati" tidak hanya satu atau dua orang, melainkan mereka juga dapat membunuh orang lain.

Ke depan mestinya pola seleksi yang dilakukan oleh Perguruan tinggi untuk calon guru perlu benar-benar diperhatikan, apabila pendidikan di negeri ini mau berubah kearah yang lebih baik atau paling tidak sejajar dengan Negara-negara tetangga. Guru "tempo doeloe" sangat jauh berbeda dengan guru pada masa sekarang, perbedaan terjadi dari segala sudut pandang. Guru "tempo doeloe" sangat lekat dengan panggilan "Pak/ibu guru" dari masyarakat dan para muridnya, barangkali karena panggilan inilah sehingga mereka berbeda dengan yang lain dan malu untuk melakukan sesuatu diluar kebiasaan guru.

Mereka sangat tekun mendidik anak muridnya, mereka sangat disegani bahkan ditakuti, mereka seolah tidak memikirkan nasibnya sendiri, mereka sanggup memberikan pelajaran tambahan bagi muridnya yang "kurang" tanpa mau memungut bayaran, tidak terdengar dari mereka yang memacari anak muridnya apa lagi sampai memperkosanya. Bahkan yang lebih aneh guru "tempo doeloe" konon kabarnya lebih galak, apabila memberikan hukuman tidak pernah pandang bulu, tetapi lebih aneh lagi para muridnya semakin segan dan takut untuk melakukan pelanggaran.

Pada saat ini bukan tidak ada guru seperti guru "tempo doeloe", tetapi mungkin prosentasenya kecil hal ini disebabkan oleh banyak factor, baik yang berasal dari guru itu sendiri (internal) maupun yang berasal dari luar (eksternal). Disamping itu juga guru sekarang terlalu banyak dihadapkan dengan permasalahan dan tantangan seiring dengan kemajuan zaman.

Berikut beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para guru sekarang antara lain:

(1). Penghargaan pemerintah terhadap profesi guru relative rendah. Hal ini dapat dilihat dari misalnya perhatian pemerintah terhadap guru yang berprestasi sangat jauh perbedaannya dibanding dengan perhargaan terhadap yang berprestasi selain guru. Belum lagi kepada guru yang diberikan tugas tambahan sebagai kepada Kepala Sekolah yang tugasnya sangat berat, karenanya tidak dapat disalahkan apabila ada segelincir kepala sekolah yang memanfaatkan masa jabatannya untuk kepentingan peribadi.

Seyogyanya guru yang ditugaskan sebagai Kepala Sekolah tersebut tidak perlu lagi memikirkan nasibnya sendiri sehingga dia dapat mengelola sekolah secara maksimal, dan seharusnyalah ada perbedaan penghargaan dari pemerintah terhadap kepala sekolah yang berprestasi terhadap pengelolaan sekolahnya serta yang lebih penting lagi tidak ada dikotomi antara sekolah negeri maupun sekolah swasta. Untuk itu pemerintah selayaknya membuat batasan terhadap apa yang dilakukan kepala sekolah sehingga dia layak disebut kepala sekolah berprestasi.

(2). Negara membutuhkan banyak guru sesuai dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Dari data Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas kebutuhan guru sampai dengan 2008 adalah 1.800 guru TK, 163.397 untuk guru SD, 80.824 untuk guru SMP, 32.414 untuk guru SMA, dan 14.226 untuk guru SMK jadi total guru yang diperlukan 292.661 orang. Karena itu harapan untuk anggarkan pendidikan sebesar 20 % amat sulit untuk dicapai terutama daerah-daerah yang PAD nya relative kecil. Hal ini sangat wajar sebab bila 20 % dari anggaran sudah diserap oleh pendidikan, lantas instansi lain diluar pendidikan akan mengalami kemunduran.

(3). Distribusi guru tidak merata. Kenyataan membuktikan bahwa di kota atau tempat-tempat yang mudah dijangkau akan banyak gurunya bahkan di suatu sekolah guru berlebihan, tetapi di tempat lain yang tidak strategis kekurangan guru dan ini sangat manusiawi, karena sudah sifat manusia cenderung mencari tempat yang enak dalam hidupnya. Barangkali kita mesti merujuk pernyataan yang dibuat oleh para calon guru ketika pertama kali diangkat jadi guru (Negeri) bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia" namun kenyataannya setelah menjadi Pegawai Negeri Sipil pernyataan tersebut seolah tidak pernah ada. Untuk masalah ini pemerintah tidak semerta-merta dapat disalahkan, mereka juga banyak melakukan pertimbangan terutama menyangkut nilai kemanusiaan. Namun dengan adanya Otonomi Daerah, pemerintah daerah sebenarnya dapat membuat kebijakan yang tegas sehingga dapat menekan penyebaran guru yang tidak merata tersebut.

(4 ). Masyarakat kurang menghargai profesi guru. Sangat sedikit orangtua yang mau mengarahkan anak mereka menjadi guru, seolah bila menjadi guru penghidupan mereka akan memprihatinkan. Kebanyakan orangtua yang "beruang" akan bangga bila anak mereka manjadi teknokrat, ekonom, atau dokter, tetapi bila anaknya jadi guru mereka mungkin akan terasa terhina. Namun yang sangat disayangkan perilaku demikian dapat menambah populasi "Teacher Mismatch" di negara ini karena bila keadaan terdesak yang semula tidak mau menjadi guru akhirnya menjadi guru.

(5 ). Rendahnya kompetensi guru. Kompetensi yang dimaksud sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 yaitu Kompetensi Pedagogik (KPe), Kompetensi Kepribadian (KK), Kompetensi Social (KS), dan Kompetensi Propesional (KPr). Asfek Kompetensi Pedagogik meliputi kemampuan mengelola pembelajaran. Guru mampu membuat program, tetapi belum semua guru mampu membimbing siswa untuk mengaktualisasi kan potensi yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Kebanyakan guru berpikir apabila sudah mengajar maka selesailah tugasnya, padahal tidak demikian, masih ada tugas lain yang sangat penting yakni mendidik dan membimbing siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar