Sabtu, 23 Mei 2009

Aliansi LSM untuk Memerangi Korupsi

YANTO
Secara garis besar disepakati bahwa potensi manfaat dari strategi kooperatif antikorupsi demikian besar dan dengan demikian strategi ini merupakan strategi yang ideal. Pembrantasan korupsi menghadapi banyak sekali tantangan yang sulit dan hanya dapat dimenangkan jika seluruh komponen dari sistem sosio-politik terlibat dan melaksanakan tindakan-tindakan yang terkoordinir kearah suatu tujuan bersama.

Dengan demikian, para sponsor koalisi antikorupsi seharusnya menganggap pejabat-pejabat pemerintah sebagai potensi mitra, dan bukan merupakan musuh-musuh.

Sikap seperti ini mengandung resiko-resiko dan biaya-biaya yang terkait yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan sikap yang menentang status quo secara frontal. Selain itu, sikap kooperatif ini juga mengandung potensi untuk mengurangi minat para stakeholders yang lain yang hanya berniat sekedar membonceng dan merongrong aktivitas-aktivitas antikorupsi. Walaupun demikian, kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi dalam mengimplementasikan strategi-strategi kooperatif juga ditekankan oleh banyak peserta diskusi. Khususnya, dalam kasus korupsi yang sudah demikian melembaga (dan kasus ini terjadi di banyak negara), kemitraan (partnerships) yang terlalu akrab dengan pemerintah akan merongrong kredibilitas gerakan antikorupsi.

Lebih buruk lagi, sikap pemerintah terhadap permasalahan korupsi dapat sedemikian rupa sehingga setiap upaya untuk mengangkatnya dalam suatu diskusi yang sistematis akan mengalami kegagalan dan akan memicu tindakan-tindakan represif. Pertanyaanya sekarang adalah pendekatan yang bagaimana yang sebaiknya ditempuh oleh para penggagas koalisi antikorupsi dalam lingkungan seperti itu.

Perlu diingat bahwa sikap yang seratus persen konfrontatif kecil sekali kemungkinanya untuk menghasilkan reformasi kelembagaan yang berkelanjutan. Apa yang kelihatannya diusulkan oleh sebagian peserta adalah bahwa bentuk-bentuk kerjasama yang tidak mengikat (detached cooperation) lebih disukai dibandingkan dengan sikap yang seratus persen konfrontatif dan kerjasama ini dapat dirancang sekalipun dalam kondisi yang demikian tidak bersahabat.

Untuk itu, LSM-LSM dan stakeholder yang lainnya harus mampu menggalakkan dialog dengan pemerintah (atau paling tidak, dengan unsur-unsur di dalam pemerintahan yang mungkin lebih berminat untuk mereformasi sistem yang ada), tetapi dengan tetap menjaga jarak dengan rezim yang berkuasa dan memelihara sikap yang tidak ekstrim. Lebih jauh lagi, koalisi aksi-aksi sosial harus mengutamakan aksi-aksi tuntutan ke pengadilan terhadap para koruptor (walaupun mereka tidak harus menjadi lembaga-lembaga penyidik), tetapi tetap menghendaki pengadilan yang adil dan supremasi hukum.

Dalam lingkup kerangka kerja sama yang tidak mengikat (atau kerjasama kritis/berprinsip, sebagaimana disulkan oleh beberapa anggota), LSM dapat memberikan tekanan kepada pemerintah (atau the champs dalam pemerintahan) untuk mendapatkan kerjasama yang tulus dan kredibel darinya. Tekanan ini dapat dibangkitkan, misalnya, dengan melibatkan masyarakat internasional atau dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang permasalahan korupsi. Tindakan yang kedua sangat penting dalam mengembangkan antikorupsi sebagai proses yang tumbuh dari kekuatan internal.

Diakui bahwa di beberapa negara korupsi bukan dianggap sebagai hal yang buruk dan dampak negatifnya terhadap perekonomian tidak begitu dirasakan oleh masyarakat. Konsekuensinya, sikap umum masyarakat menjadi menerima korupsi sebagai efek sampingan dari kekuasaan pemerintah. Informasi dan pendidikan ke masyarakat menjadi penting untuk menyoroti potensi-potensi manfaat dari lingkungan bebas korupsi dan social costs dari praktek-praktek korupsi. Bila secara benar dimengerti sebagai hal yang buruk, korupsi akan ditolak oleh masyarakat dan aliran tekanan kepada pemerintah untuk menghilangkan hal yang buruk ini akan semakin meningkat dan berkelanjutan.

Pendidikan ke masyarakat juga akan memberikan kontribusi untuk menciptakan suatu nilai sosial atas tingkah laku yang jujur. Dikombinasikan dengan efek preventif yang terkandung dengan berita skandal di media massa, peluang untuk menjunjung tinggi nilai sosial dapat merupakan insentif yang ampuh untuk mendorong para pejabat pemerintah untuk bekerja sama dalam pembrantasan korupsi.

Banyak pendapat yang menekankan bahwa momentum adalah demikian penting dalam mengembangkan strategi-strategi kooperatif. Peluang untuk membangun kemitraan dalam membrantas korupsi tidak selalu terbuka. Jika momentum tersebut terlewatkan (yaitu sehubungan dengan pemilihan umum dan pembentukan pemerintahan baru atau suatu konferensi yang penting atau forum dengan issu-issu korupsi dan good governance), kemudian akan menjadi lebih sulit untuk merealisasi gerakan antikorupsi. Dengan demikian, kesuksesan strategi-strategi kooperatif akan tergantung, paling tidak dalam suatu cakupan tertentu, kemampuan dari LSM-LSM untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dan, bahkan sebelumnya pada upaya-upaya yang mereka dapat lakukan untuk (dan bersedia untuk) menghasilkan peluang tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar